GEMBIRA
Seseorang akan merasakan emosi gembira dan senang jika ia mendapatkan apa-apa yang dicita-citakannya serta meraih apa-apa yang menjadi tujuannya berupa harta atau kekuasaan atau kesuksesan atau ilmu atau iman dan takwa. Gembira merupakan efek relatif yang berkaitan dengan tujuan manusia dalam kehidupannya. Barangsiapa yang tujuan hidupnya adalah mengumpulkan harta serta mendapatkan kekuatan dan kekuasaan dan berbagai kesenangan hidup lainnya, maka keberhasilannya dalam mewujudkan tujuan-tujuan ini menjadi pendorong, timbulnya kegembiraan dan kesenangannya. Dan, barangsiapa yang tujuan hidupnya berpegang kepada keimanan dan ketakwaan serta amal saleh untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan akhirat, maka keberhasilannya dalam meraih tujuannya menjadi sumber ketenangan, ketentraman dan kegembiraannya.
Al-Quran mengemukakan dua jenis kegembiraan ini.
Pertama, kegembiraan orang kafir dengan perhiasan kehidupan dunia. Allah berfirman, “Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akherat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (ar-Ra’d:26)
Kedua, kegembiraan orang-orang mukmin dengan ayat-ayat Al Quran yang diturunkan kepada mereka, yang menunjukkan mereka kepada kebenaran dan didalamnya terdapat obat, petunjuk dan rahmat bagi mereka. Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjukserta rahamat bagi orang-orang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. ‘Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ (Yunus:57-58)
Mayoritas manusia menganggap bahwa harta benda dunia adalah sumber kesenangan dan kegembiraan. Padahal kenyataannya ia tidak menikmati kehidupan yang bahagia, tenang, dan tenteram. Sebab, jika Allah memberinya kenikmatan sehat, keluasan rezeki dan harta yang banyak, maka ia merasa senang, dan gembira. Namun, harta benda tersebut menjadikan dirinya melupakan Allah dan tidak mensyukuri nikmat-Nya. Dan, jika ia tertimpa bahaya atau bencana serta kehilangan sebagian kenikmatan yang selama ini dinikmatinya, maka dirinya menjadi putus asa dan mengingkari kenikmatan lain yang masih dimilikinya. Demikianlah, orang semacam ini selalu hidup dalam kegoncangan dan gonjang-ganjing antara perasaan bahagia dan perasaan sedih.
Allah berfirman, “Dan jika kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana menimpanya, niscahya dia akan berkata, ‘Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku.’ Sesungguhnya dia sangat gembira dan lagi bangga.” (Huud:9-10)
Adapun orang yang menjadikan sumber kebahagiaan dan kesenangan itu berupa berpegang teguh kepada keimanan, ketakwaan, amal saleh dan mengikuti manhaj Allah dalam kehidupannya, maka ia akan merasakan kebahagiaan hakiki yang abadi. Hal ini sebagaimana dibenarkan oleh firman Allah,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
Al Quran juga mendeskripsikan kegembiraan orang-orang mukmin pada hari perhitungan, yaitu saat Allah menyelamatkan dirinya dari kejahatan hari itu dan dengan rahmat-Nya Dia memasukkan dirinya ke dalam surga penuh kenikmatan. Allah berfirman, “Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (al-Insaan: 11)
Sumber: Dr. Ahmad Husain Salim/(Menyembuhkan penyakit Jiwa dan Fisik) by: admin LSIK UNIMUS