Tajdid Muhammadiyah
pada Era Globalisasi : Perspektif Ekonomi[1]
Oleh : Rohmat Suprapto, S.Ag, MSI [2]
Pengertian Globalisasi
Kata “globalisasi” sudah sangat akrab di telinga publik, dan isu itu menjadi perhatian masyarakat dunia saat ini. Namun demikian, walaupun penggunaan istilah ini sudah demikian meluas, tidak semuanya mengandung pengertian yang sama. Menurut David Merret (2005: 23), pengajar matakuliah Global Management Issues di Univesity of Melbourne: “there is little consensus about what ‘globalisation’ is and whether its outcomes are for better or worse”. Dalam pengertian umum, Davies dan Nyland (2004: 5-6) menemukan lima pengertian globalisasi, yaitu (1) internasionalisasi; (2) liberalisasi; (3) universalisasi (universalization); (4) Westernisasi (westernization) atau modenisasi; dan (5) suprateritorialitas (supraterritoriality), yang mengandung makna bahwa “ruang sosial tidak lagi dipetakan atas dasar tempat, jarak, dan batas-batas wilayah”. Ahmed dan Donan mengartikan globalisasi sebagai terjadinya “perkembangan yang cepat dalam teknologi komunikasi, transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jah menjadi terjangkau dengan mudah” (Azizi, 2004: 19). Dalam arti luas globalisasi ini diberi makna sebagai “terjadinya keterbukaan antarwilayah/negara sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antarwilayah/negara tersebut, seperti interaksi sosial, politik, budaya, ekonomi dan bidang-bidang kehidupan lainnya”.
Pengertian yang bermacam-macam juga terjadi ketika berbicara tentang globalisasi dari perspektif ekonomi. Pieterse (2001:1) mendefiniskan globalisasi ekonomi sebagai proses percepatan untuk menyatukan (intermeshing) dunia dalam bidang ekonomi. Secara lebih rinci dikemukakannya:
“…. the accelerated worldwide intermeshing of economies, and cross border traffic and communication becoming ever denser. Technological change is speeding up. Risks and opportunities are globalizing…. Globalization means global effect and global awareness, and therefore increasingly it also means global engagement,” (loc.cit).
Joseph Stiglitz dalam bukunya yang sangat terkenal, “Globalization and Its Discontents” (2002: ix) mengartikan globalisasi sebagai “penghapusan berbagai hambatan perdagangan untuk mewujudkan perdagangan bebas dan memperkuat integrasi ekonomi antarnegara”. Secara lebih luas dikemukakannya “globalisasi sebagai penyatuan yang semakin dekat antara negara-negara dan masyarakat-masyarakat di dunia yang disebabkan oleh penurunan yang besar dari biaya transportasi dan komunikasi, dan dihapuskannya berbagai penghalang artifisial bagi arus barang, jasa, modal, pengetahuan, dan (dalam skala yang lebih kecil) lintas batas manusia (ibid.: 9). Sedang Anne Krueger, seorang petinggi IMF, mendefinisikannya sebagai “a phenomenon by which economic agents in any given part of the world are much more affected by events elsewhere in the world than before” (Wolf, 2004: 14). Dalam pengertian yang hampir sama Djiwandono (2004: 1) menyatakan bahwa globalisasi adalah hilangnya batas-batas atau sekat-sekat antarnegara di mana dunia menjadi tanpa batas atau borderless.
Jadi, dalam perspektif ekonomi, globalisasi merupakan suatu pengintegrasian ekonomi secara global. Jika globalisasi ekonomi mewujud – dalam arti luas – berarti tidak ada lagi batas-batas negara dalam transaksi ekonomi. Komoditi menjadi bebas tanpa hambatan untuk berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Tidak ada lagi hambatan-hambatan bisnis atau perdagangan internasional, baik berupa tariff barriers maupun non-tarif barriers (Hamid dan Hendrianto, 2004). Dari sekian banyak rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa substansi yang ada hampir sama, yakni upaya untuk menyatukan atau mengintegrasikan perekonomian global.
Globalisasi Ekonomi: Perspektif Historis –Teoritis
Dari perspektif historis, upaya menyatukan ekonomi global tersebut sudah berlangsung sejak lama. Jika kita meruntut masa sebelum Rasulullah SAW praktik globalisasi ekonomi ini, yang berujud prdagangan antarnegara, sudah terjadi. Keempat orang putra Abd Manaf, atau kakek-buyut Nabi SAW, yaitu Hasyam, Abd Syam, Muttalib, dan Naufal telah melakukan transaksi ekonomi antarnegara. Hasyam mengantongi izin dari penguasa Syiria untuk berdagang ke negeri tersebut, Naufal ke Irak, Muttalib ke Yaman, dan Abd Syam memperoleh izin dari raja Ethiopia untuk berdagang ke negeri itu (Afzalurrahman, 1997: 3).
Menurut Elwood (2001:12-13) globalisasi ekonomi sebagai suatu kata atau istilah memang merupakan terminologi yang baru, namun sebagai aktivitas mengglobalnya ekonomi itu sudah berlangsung sangat lama. Ia melihat dari perspektif Barat bahwa praktik globalisasi ekonomi terjadi sejak masa kolonialisme Eropa lima abad yang lalu. Globalisasi ekonomi waktu bertujuan untuk mendapatkan kekayaan di belahan dunia yang sebelumnya tidak terjangkau. Cristobal Colon, yang kemudian dikenal dengan nama Christopher Columbus, dengan dukungan dana dari Raja dan Ratu Spanyol berlayar mengarungi lautan untuk menuju wilayah Asia yang diberitakan berlimpah dengan kekayaan alam dan emasnya.[3] Upaya mencari wilayah baru untuk memperoleh kekayaan bagi negara yang relatif kaya semacam ini terus berlanjut. Dalam catatan sejarah yang terkait dengan globalisasi lainnya, dapat dikemukakan upaya yang dilakukan jurubicara terkenal Kerajaan Inggris tahun 1890-an, Cecil Rhodes, yang menyatakan perlunya negara mendapatkan tanah yang baru, karena lahan (jajahan) yang baru tersebut bisa menguntungkan negerinya:
“…. from which we can easily obtain raw materials and at the same time exploit the cheap slave labor that is available from natives of the colonies. The colonies (will) also provide a dumping ground for the suprlus goods produced in our factories” (Khor dalam Elwood, 2001: 13).
Pandangan-pandangan demikian merupakan pandangan kaum merkantlis pada abad ke-17 dan ke-18, yang menjadikan globalisasi ekonomi guna memperoleh surplus perdagangan dalam rangka memperkuat negaranya. Alexander Hamilton, tokoh merkantilis dari Amerika Serikat pada tahun 1791 berkaitan dengan kebijakan proteksi AS di bidang industri menulis: “Not only the wealth but the independence and security of a country apperas to be materially connected to the prosperity of manufactures” (Gilpin, 2002: 92). Jadi upaya globalisasi era kolonial diarahkan untuk memenuhi kebutuhan negara yang sudah lebih dulu maju dengan mengeksploitasi negara atau daerah yang masih terbelakang.
Globalisasi ekonomi yang sudah berakar sejak berabad-abad tersebut terus berevolusi. Titik yang signifikan terjadi tahun 1947 saat mulai berlakunya dan dilembagakannya Perjanjian Umum tentang Tariff dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Komitmen yang mengarah pada globalisasi perdagangan dunia yang dimotori oleh Amerika Serikat tersebut pertama kali hanya diikuti oleh 23 negara. Evolusi globalisasi ekonomi ini kemudian berkembang sangat cepat sejak akhir 1980-an. Melalui perundingan panjang yang dilakukan GATT selama 8 tahun, yang dikenal dengan Putaran Uruguay pada tahun 1995 berhasil memutuskan membentuk World Trade Organization (WTO). Keanggotaan WTO ini terus berkembang dan sampai Februari 2005 mencapai 148 negara, dengan bidang cakupan yang lebih luas, yakni menyangkut liberalisasi lalulintas barang dan jasa (GATS).
Bagaimana globalisasi ekonomi dilihat dai perspektif teoritik? Dari sudut pandang teoritik, globalisasi ekonomi menjanjikan manfaat yang sangat menggiurkan: meningkatnya kesejahteraan masyarakat dunia. Dengan penghapusan berbagai rintangan dalam hubungan ekonomi internasional akan mendorong peningkatan efisiensi dan produksi barang dan jasa. Spesialisasi ekonomi terjadi. Perdagangan dan investasi meningkat, teknologi produksi berkembang, yang kesemuanya mengarahkan pada peningkatan output dunia, yang berarti kesejahteraan dunia secara total juga meningkat (Lihat misalnya El-Agraa, 1988: 10). Oleh karena itu, berbagai hambatan perdagangan, baik itu yang berupa tarif yang tinggi maupun yang bukan tarif harus diminimalkan, bahkan dihilangkan. Melalui WTO dan berbagai lembaga-lembaga internasional hal itu selalu menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Kebebasan ekonomi dunia dianggap sebagai suatu the best solution theory untuk meningkatkan output dunia. Dalam terminologi ekonomi, kebebasan ekonomi tersebut akan mewujudkan apa yang disebut sebagai Optimalitas Pareto (Pareto Optimality)
“Provokasi” yang didukung dengan konsep teori itu sangat gencar pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Oleh karena itu, tidak mengherankan pada masa itu arus pemikiran tentang globalisasi ekonomi mewarnai hampir seluruh dunia. Terminologi berkaitan dengan globalisasi ini, seperti negara tanpa batas, liberalisasi ekonomi, perdagangan bebas, atau integrasi ekonomi global menjadi semacam dogma yang diyakini akan membawa dunia pada kemajuan ekonomi, menghapuskan kemiskinan, serta memperkecil kesenjangan antarnegara. Upaya ke arah globalisasi ini sangat didukung negara-negara adikuasa ekonomi, yang memang pola perdagangannya sudah terbiasa dengan liberalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi dalam skala terbatas (atau disebut regionaliasi ekonomi) yang sering dianggap sebagai kisah sukses adalah integrasi ekonomi negara-negara Eropa Barat yang kini tergabung dalam Uni Eropa. Oleh karena itu, banyak negara yang “berlatih” untuk mempersiapkan diri ke arah globalisasi ekonomi melalui intergasi ekonomi regional. Dalam kawasan Asia Pasifik di bentuk APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang dimotori negara-negara seperti Australia, Amerika, dan Kanada. Dalam skala yang lebih kecil juga dibentuk North American Free Trade Area (NAFTA), ASEAN Free Trade Asrea (AFTA), dan sebagainya.
Berbagai perangkat organisasi ekonomi dunia itu diharapkan akan membantu percepatan pewujudan globalisasi untuk mengangkat kemakmuran dunia. Para pendukung globalisasi ekonomi sangat yakin bahwa globalisasi menjanjikan terjadinya peningkatan kemakmuran dunia dan kerja sama internasional. Oleh karena itu mereka menyatakan tidak diperbolehkan adanya rintangan yang dapat menghambat lalulintas barang, jasa, dan kapital (Gilpin, 2002: 293). Padahal, pemikiran untuk meliberalisasikan perdagangan dunia tersebut mempunyai prasyarat bahwa pelaku-pelaku yang akan mengintegrasikan ekonominya harus mempunyai kekuatan seimbang. Prakondisi inilah yang tidak terpenuhi, kekuatan ekonomi antarnegara masih sangat timpang, sehingga praktik globalisasi ekonomi belum bisa dilakukan. Kalaupun ingin dilaksanakan hal ini terbatas pada negara-negara yang relatif seimbang, yang biasanya terbatas pada kawasan tertentu, yang dalam konsep teori disebut sebagai regional economic integration. Integrasi ekonomi regional seperti pembentukan perserikatan pabean (customs union) dianggap sebagai the theory of the second best karena prakondisi untuk mewujudkan the first best policy tidak bisa terpenuhi (lihal misalnya Chacholiades, 1988: 544-545).
Demikianlan, dengan melihat secara empirik dan teoritik dapat disimpulkan bahwa dari perspektif empirik globalisasi ekonomi menjadi alat bagi negara maju – dan juga korporasi global – untuk mengeksploitasi dan mendapatkan keuntungan ekonomis dari negara-negara yang sedang berkembang. Sedang dari perspektif teoritik globalisasi ekonomi sebetulnya belum bisa diterapkan, karena masih timpangnya kekuatan-keuatan ekonomi negara-negara di dunia ini. Oleh karena itu, persaingan bebas dalam ekonomi belum bisa dilakukan secara menyeluruh, melainkan harus bertahap sesuai dengan kemampuan dan kesiapan masing-masing negara.
Praktik Globalisasi Ekonomi: Kasus Liberalisasi Perdagangan
Sejalan dengan teori-teori yang berkaitan dengan integrasi ekonomi, liberalisasi perdagangan menjadi ujung tombak globalisasi ekonomi. Sepanjang yang dapat dilihat saat ini, perkembangan perdagangan dunia memang sangat pesat sejak GATT tersebut. Namun secara absolut, perkembangan menjadi sangat cepat selama dua dasawarsa terakhir ini. Dilaksanakannya keputusan-keputusan dari Putaran Uruguay semakin mempercepat perdagangan dunia tersebut. Globalisasi, yang dalam perdagangan internasional menjadi liberalisasi perdagangan, telah menghapuskan berbagai hambatan perdagangan secara signifikan, baik itu hambatan yang berwujud tarif bea masuk maupun hambatan-hambatan bukan tarif, seperti pelarangan impor, kuota, lisensi impor, dan sebagainya. Dimasukkannya sektor jasa dalam liberalisasi ekonomi dunia itu, sebagai implementasi GATS (General Agreement on Trade and Services) , semakin menyudutkan posisi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang umumnya sangat lemah dalam sektor jasa. Jadi, kesepakatan GATS sangat menguntungkan negara maju, terutama yang sektor jasanya sudah mumpuni, tetapi sebaliknya bagi negara bekembang seperti Indonesia. Kita tidak lagi bisa menutup diri dari pembukaan kantor-kantor konsultan dagang asing, konsultan hukum ataupun kantor-kantor akuntan, bahkan pada lembaga pendidikan asing.
Lewat GATS pula kini “pengetahuan” dianggap sebagai suatu komoditi sehingga pendirian lembaga pendidikan juga tunduk pada ketentuan WTO. Hal ini sedang “digugat” oleh pimpinan perguruan tinggi di tanah air.[4] Persaingan yang lebih bebas, terlebih tanpa antisipasi yang memadai, berpotensi meningkatkan defisit perdagangan sektor jasa suatu negara yang belum siap untuk bersaing bebas. Dalam GATS Indonesia telah memberikan cukup banyak komitmen, mencakup lima sektor yang melingkupi 68 kegiatan/transaksi. Memang komitmen terhadap perdagangan jasa yang telah diberikan tersebut tidak sepenuhnya bersifat liberal. Berbagai pembatasan masih bisa diberlakukan, seperti kewajiban untuk patungan pada sektor jasa tertentu, pembatasan saham, batasan masa tinggal, dan sebagainya. Kalau dengan kondisi penuh pembatasan saja sektor jasa nasional sudah mengalami kesulitan, maka pengenduran pembatasan membuat posisi sektor jasa semakin sulit.
Secara makro-global dapat dikatakan peningkatan perdagangan bebas tersebut merefleksikan peningkatan kesejahteran masyarakat dunia. Namun kesimpulan tersebut dipertanyakan manakala dilihat siapa atau negara-negara mana sebenarnya yang perekonomiannya mengalami peningkatan pesat tersebut. Data pada lampiran 1 menunjukkan ekspansi perdagangan terutama terjadi di negara-negara maju. Konsentrasi perdagangan dunia masih berpusat di negara-negara Utara seperti Amerika Utara dan Eropa Barat, sementara untuk negara Asia hanya terkonsentrasi pada Jepang dan Cina. Fakta demikian bukan sesuatu yang mengejutkan dan sudah diperkirakan jauh sebelum hasil Putaran Uruguai dilaksanakan. Ketika Putaran Uruguay sedang berlangsung, dua lembaga-lembaga ekonomi internasional, OECD dan Bank Dunia (1992), yang meneliti kemungkinan dampak liberalisasi perdagangan dunia terhadap beberapa negara di dunia menunjukkan manfaat terbesar liberalisasi pasca Putaran Uruguay akan dinikmati oleh negara-negara anggota Masyarakat Eropa (Uni Eropa), Cina, Jepang, USA, dan negara-negara yang tergabung dalam EFTA (Tabel). Kecuali RRCina, yang skala ekonominya sangat besar dan berdaya saing tinggi, semua negara yang diuntungkan tersebut adalah negara-negara maju, yang gencar memperjuangkan globalisasi ekonomi.
Tabel 3: : Perkiraan Dampak Liberalisasi Perdagangan Dunia 2020
Negara/Kawasan |
Nilai (US$ juta) |
% |
MEE |
80700 |
37,9 |
RRC |
37000 |
17,4 |
Jepang |
25900 |
12,4 |
USA |
18800 |
8,8 |
EFTA |
12300 |
5,8 |
India |
4600 |
2,2 |
Brazil |
3400 |
1,6 |
Kanada |
2500 |
1,2 |
Eropa Timur |
1400 |
0,7 |
Austr/Selandia |
1100 |
0,5 |
Meksiko |
300 |
0,1 |
Afrika Selatan |
-400 |
0,2 |
Maghreb |
-600 |
-0,3 |
Nigeria |
-1000 |
-0,5 |
Indonesia |
-1900 |
-0,9 |
Sub total |
184.100 |
86,4 |
Negara lain |
28.900 |
13,6 |
Total |
213.000 |
100,0 |
Sumber: OECD dan IBRD (1992) dalam Hamid dan Hendri Anto (2000: 102)
Dengan mengasumsikan terjadi pengurangan tarif dan subsidi sebesar 30%, liberalisasi perdagangan dunia tahun 2020 akan memberikan manfaat ekonomi sebesar US$ 213 miliar dollar AS. Dari nilai itu, US$ 80,7 miliar dinikmati negara-negara anggota Masyarakat Eropa, diikuti RRCina (US$37 miliar), Jepang (US$ 25,9 miliar), Amerika Serikat (US$ 18,8 miliar), dan negara-negara anggota EFTA (US$ 12,3 miliar). Indonesia diperkirakan waktu itu mengalami kerugian US$1,9 miliar (OECD dan IBRD dalam Hamid dan Hendrie Anto, 2000: 102-103). Perkiraan tersebut memang dengan basis situasi ekonomi waktu itu. Dengan sedikitnya pergeseran kekuatan ekonomi yang ada, secara kualitatif kesimpulan tersebut telah menunjukkan kebenarannya.
Globalisasi perdagangan bagi negara sedang berkembang juga telah memerosotkan nilai tukar ekspornya terhadap impor barang-barang manufaktur yang dibutuhkannya. Bahkan, kemerosotan nilai tukar ini cenderung semakin parah dan menyebabkan perpindahan sumber daya riel yang diakibatkan oleh hilangnya potensi pendapatan atas ekspornya sebagai akibat kemerosotan nilai tukar. Berdasarkan kenyataan demikian Stiglitz (2002: ix-x) meminta agar pelaksanaan globalisasi, termasuk berbagai agreement mengenai perdagangan dikaji ulang dan dipertimbangkan kembali secara radikal.
Khor (2003:3) melukiskan dengan cermat pandangannya tentang konsekuensi perdagangan bebas sbb:
“Pemikiran bahwa semua pihak akan diuntungkan dan tidak akan ada yang dirugikan dalam perdagangan bebas terbukti sangat menyederhanakan masalah. Sejumlah negara memperoleh keuntungan lebih banyak dibanding yang lain; dan beberapa diantaranya (terutama negara-negara miskin) tidak memperoleh apapun, kecuali menderita kerugian yang sedemikian besar bagi perekonomian mereka. Hanya sedikit negara yang menikmati pertumbuhan sedang atau tinggi dalam dua dekade terakhir, sementara sejumlah besar negara mengalami penurunan standar hidup….”
Tekanan Ideologi Kapitalis dan Penolakan Globalisasi
Pandangan lain yang tidak kalah keras dalam menolak pola perdagangan dunia yang didominasi WTO ini juga datang dari Walden Bello (2004) dalam bukunya yang judulnya provokatif: “De-globalisasi” (deglobalization). Bello melihat sudah terjadi kekacauan dalam sistem multilateral. WTO dinilai sudah menjadi perpanjangan tangan perusahaan-perusahaan transnasional (TNC) yang menjadi monopolis dan oligopolis dunia. Ini misalnya dapat dilihat dilegitimasikannya perjanjian yang terkait dengan hak milik intelektual (TRIPS= Trade Related with Intellectual Property Rights) yang mengukuhkan pengambilalihan inovasi teknologi oleh perusahaan transnasional seperti Intel, Microsoft, dan Monsanto. Secara khusus dikemukakannya bahwa “ekspansi dari perdagangan bebas dan ekspansi kekuasaan dan yurisdiksi WTO, yang saat ini merupakan instrumen multilateral dari perusahaan global yang sangat kuat, merupakan ancaman yang mematikan terhadap pembangunan, keadilan sosial dan persamaan hak, dan lingkungan” (154). Oleh karena itu, kecenderungan yang demikian harus ditentang dan dicegah agar tidak terus berkembang.
Intervensi negara-negara maju melalui lembaga-lembaga internasional yang dirancangnya dan melalui korporasi global merupakan strategi yang sudah diterapkannya sejak lama. Pengakuan Perkins (2004), seorang profesional yang bekerja untuk sebuah perusahaan multilateral AS, dalam bukunya yang menghebohkan, Confessions of an Economic Hit Man (EHM), semakin menggambarkan bagaimana intervensi negara maju, dalam hal ini Amerika Serikat, melalui perusahaan trans-nasionalnya untuk mengeksploitasi dan menciptakan ketergantungan Negara Berkembang pada AS. Dilukiskannya bagaimana peran seorang EHM yang dibayar dengan gaji sangat tinggi untuk menjalankan misi yang disebutnya sebagai bagian dari faham corporatocracy:
“… They funnel money from the World Bank, the US Agency for International Development (USAID), and other foreign “aid” organizations into the coffers of huge corporations and the pockets of a few wealthy families who control the planet’s natural resources. Their tools include fraudulent financial reports, rigged elections, payoffs, extortion, sex, and murder. They play a game as old as empire, but one that has taken on new and terrifying dimensions during this time of globalization” (Perkins, 2004: ix).
Menurut Perkins (2004: 25), ia diberi keleluasaan demi menciptakan ketergantungan dan mendapatkan kekayaan di negara tempatnya bertugas. Hal ini juga terjadi ketika ia ditugaskan ke Indonesia lewat perusahaan Chase T. Main Inc (MAIN) untuk pengembangan kelistrikan di Indonesia dan diberi “pengarahan” oleh seorang project manager-nya sbb:
“We all know how dependent our own country is on oil. Indonesia can be a powerful ally to us in that regard. So, as you develop this master plan, please do everything you can to make sure that the oil industry and all the others that serve it – ports, pipelines, construction companies – get whatever they are likely to need in the way of electricity for the entire duration of this twenty five year plan”.
Tentu saja globalisasi ekonomi juga memberikan manfaat bagi penduduk dunia, seperti meningkatnya output dunia, dan semakin banyaknya tawaran komoditi yang berkualitas dengan harga yang relatif rendah. Perkembangan peradaban manusia juga mencapai titik yang tidak terbayangkan selama ini. Namun, menurut Gelinas (sebagaimana dikutip Sofian Effendi, 2004: 13) kemajuan tersebut diiringi pula dengan tragedi kemanusiaan seperti: (1) 4 sampai 6 miliar penduduk di 127 negara terbelakang hidup dalam kondisi kemiskinan yang berat; (2) 49 negara paling terbelakang secara teknologis mengalami kebangkrutan; (3) pendapatan per kapita per tahun dari 100 negara di Dunia Ketiga mengalami penurunan dari keadaan 10, 15, 20, dan bahkan 30 tahun yang lalu; (4) 2,8 miliar penduduk di Negara-negara Dunia Ketiga hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari; (5) 1,3 miliar penduduk di negara-negara yang sama bahkan hidup dengan tingkat konsumsi kurang dari 1 dollar AS; (6) 2,6 miliar penduduk dunia tidak memiliki infrastruktur yang memadai; dan 6) 1,4 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air minum yang bersh.
Demikianlah, era globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang terjadi saat ini adalah suatu grand design dari negara-negara kaya bersama kapitalisme global, yang menggunakan kekuatannya sendiri atau melalui lembaga-lembaga ekonomi-keuangan global yang berada di bawah pengaruhnya. Dengan bahasa yang “keras” Swasono (2005: 1) melukiskan globalisasi yang terjadi saat ini sebagai “faham liberalisme baru untuk menjadi topengnya pasar bebas, yang justru mengabaikan cita-cita globalisme ramah untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan mondial”. Nada yang sama juga dikemukakan Mubyarto (2005: 6) yang secara tegas menolak praktik globalisasi. “…. karena dalam sifatnya yang ada sekarang, yang serakah dan imperialistik, sangat merugikan perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia”.
Mensikapi Proses Globalisasi Ekonomi: Tajdid Ekonomi
Uraian di atas, yang membahas perspektif empirik, teoritik, dan juga melihat praktik globalisasi ekonomi yang berkembang saat ini, merupakan suatu pijakan yang menjadi bahan pertimbangan sebelum kita mengambil sikap tehadap globalisasi tersebut, khususnya dari sudut pandang ekonomi. Tajdid dalam perspektif ekonomi (economic reform), dapat diartikan sebagai “suatu proses perubahan kelembagaan yang membawa pada peningkatan tingkat pertumbuhan produktivitas input total (total factor productivity, TFP) (Reynolds, Bruce L, 1987). Pengertian ini mengandung makna bahwa bagaimana dengan tajdid (reform) tersebut produktivitas umat dalam memanfaatkan sumber-sumber ekonomi itu meningkat. Jika ini dikaitkan dengan globalisasi ekonomi, maka pemikiran pembaharuan kita adalah bahwa globalisasi harus mengarah pada keterlibatan umat dalam kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, dan juga konsumsinya. Dengan demikian, jika praktik globalisasi ekonomi justru menyingkirkan atau meminggirkan keterlibatan umat tersebut, yang berarti menurunkan prouktivitasnya sebagai akibat kegiatan-kegiatan ekonomi beralih atau dikuasai oleh negara-negara atau pihak-pihak yang kuat secara ekonomi, maka pola globalisasi yang demikian harus ditolak atau diluruskan. Dalam kajian yang lebih luas, juga dilihat sejauh mana globalisasi tersebut sejalan dengan nilai-nilai dasar Ekonomi islam yang antara lain menynagkut (a) prinsip kepemilikan yang terbatas atas harta kekayaan dan sumber-sumber produksi; (b) prinsip keseimbangan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dunia dan akhirat serta kepentingan individual dan kepentingan umum; serta (c) prinsip keadilan.
Berdasarkan pemikiran demikian, dan dengan melihat sejarah perjalanan globalisasi, maka satu hal yang bisa kita simpulkan adalah kita, umat Islam umumnya dan Muhammadiyah khususnya, tidak bisa menerima begitu saja (take it for granted), juga tidak bisa bersikap menerima atau menolak secara frontal (take it or leave it) globalisasi ekonomi yang sedang berjalan. Kita jangan pula terpesona janji-janji globalisasi ekonomi yang akan membawa peningkatan kesejahteraan dunia serta tunduk tekanan-tekanan melalui berbagai forum global oleh negara maju dan didukung oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti Bank Dunia, WTO, dan IMF, yang ketiganya oleh Richard Peet disebut sebagai “Tritunggal Brengsek” (Unholy Trinity) untuk mempercepat proses globalisasi ekonomi. Yang perlu dan dapat dilakukan adalah meluruskan jalannya globalisasi yang berjalan agar tidak berujud pada tekanan ekonomi liberal yang memaksakan ideologi tunggal, yakni ideologi kapitalis yang tidak semuanya sejalan dengan ajaran-ajaran Islam. Sikap dan peran seperti inilah yang seyogianya dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai suatu institusi maupun individual warga persyarikatan.
Perlu dicatat bahwa implementasi globalisasi ekonomi berbeda dengan globalisasi bidang-bidang lainnya yang banyak ditentukan sendiri oleh suatu negara untuk menerima atau menolaknya tanpa ada mekanisme atau institusi yang memaksa untuk melaksanakannya. Globalisasi ekonomi, dalam banyak hal, diupayakan diikat oleh suatu agreement atau kesepakatan dalam badan-badan dunia seperti WTO dan IMF. Melalui WTO, misalnya, dibuat berbagai “kesepakatan” yang mengarah pada liberalisasi ekonomi. Demikian pula kontrak-kontrak dengan IMF, sebagai konsekuensi pinjaman yang dberikannya, mengikat negara-negara yang dibantunya untuk melaksanakan nota kesepahaman yang isinya juga mengarah pada liberalisasi ekonomi tersebut.
Oleh karena itu, sebagai suatu institusi yang dikenal dengan misi pembaharuannya (tajdid, reform), Muhammadiyah memang tidak seharusnya bersikap apatis ataupun latah dengan menolak tanpa alternatif pemikiran yang jelas terhadap praktik globalisasi. Sebagai suatu konsep, globalisasi ekonomi memang merupakan sesuatu yang bersifat netral, yang bisa berdampak positif maupun negatif. . Dalam artian yang positif, globalisasi ekonomi secara selektif menjanjikan sesuatu yang dapat membawa kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi masyarakat dunia. Kerenanya, globalisasi dapat diterima jika hal itu berarti dibukanya peluang interaksi ekonomi yang dilakukan secara sukarela dan mengarah pada tujuan kemakmuran bersama. Namun, globalisasi juga bisa berdmpak negatif, jika itu menjadi alat kepentingan kelompok tertentu untuk memenuhi kepentingan sendiri. Sayangnya, kecenderungan yang terjadi lebih kepada yang negatif ini. Globalisasi digiring oleh negara-negara maju yang didukung lembaga-lembaga ekonomi-keuangan dunia yang difasilitasinya dan kapitalisme global untuk memaksakan ideologi ekonominya, serta menerapkan hubungan ekonomi dan bisnis yang tidak adil dan tidak fair. Ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang mewajibkan interkasi bisnis tersebut sebagai sesuatu yang saling menguntungkan dan bersifat sukarela dan bukan karena paksaan.[5] Dengan demikian kita tidak seharusnya menerima begitu saja praktik globalisasi ekonomi yang melahirkan hegemoni negara maju atas atas negara berkembang, dan hegemoni usaha besar atas usaha kecil. Banyak yang membayangkan globalisasi ekonomi sekarang ini sebagai kemenangan sistem kapitalis yang kejam yang ditandai dengan adanya eksploitasi, dominasi, dan meningkatnya ketidakmerataan dalam dan antarnegara (Gilpin, 2002: 293).
Dalam mensikapi globalisasi yang “dituntun” oleh ideologi liberal-kapitalis ini, Muhammadiyah perlu membentuk opini dan membangun jaringan agar dapat meluruskan proses globalisasi ekonomi dengan wajah yang humanistik. Meluruskan agar globalisasi ekonomi tidak menciptkan arena free fight lberalism atau arena gontokan bebas; mencegah mengkomoditaskan produk-produk seperti pendidikan, kesehatan yang seharusnya wajib disediakan untuk semua warga; ataupun memaksakan praktik-praktik ribawi seperti perdagangan matauang serta pengurangan peranan negara dalam aktivitas yang berkait dengan hajat hidup orang banyak. Hal-hal demikian tidak bisa dilakukan oleh Muhammadiyah hanya melalui jaringan-jaringan yang ada di dalam negeri, melainkan juga dengan gerakan-gerakan berbagai elemen masyarakat dunia, baik dari negara berkembang maupun negara maju, yang saat ini banyak yang tidak puas dengan proses globalisasi tersebut.[6]
Muhammadiyah juga perlu memberikan tekanan pada pemerintah agar dalam forum-forum yang terkait dengan pelaksanaan globalisasi ekonomi tersebut pemerintah dengan mengajak negara-negara lain yang mempunyai sikap sama, untuk bersikap tegas dan menolak tekanan dan pemaksaan prinsip hubungan ekonomi yang tidak adil dan merugikan kepentingan umat dan nasional, yang dilakukan melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan global. Delegasi yang mewakili Indonesia di berbagai forum lembaga ekonomi-keuangan internasional harus berpegang teguh pada pendirian untuk menghasilkan rumusan-rumusan kerja sama ekonomi global yang adil dan tidak merugikan kepentingan umat.[7] Keharusan membuka pasar secara semena-mena tanpa melihat kemampuan produsen lokal yang belum siap untuk berkompetisi secara bebas, misalnya, merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima.
Dorongan kerja sama antarnegara yang secara “ideologis” sama jauh lebih relevan dan layak dikembangkan ketimbang kerja sama dipaksakan dengan ideologi tunggal tersebut. Misalnya meluaskan hubungan ekonomi atau perdagangan sesama negara muslim (intra-islamic trade). Sayangnya hal tersebut sejauh ini masih jauh dari harapan. Perdagangan sesama negara Islam saat ini diperkirakan kurang dari 10 persen. Hubungan ekonomi dan perdagangan justru sangat dominan dengan negara-negara seperti Jepang, negara-negara Amerika Utara, dan Eropa Barat.
Gerakan ke dalam kita juga harus bersikap realistik. Kita tidak bisa menafikan proses globalisasi tersebut yang sedang dan akan terus berjalan. Adalah mustahil, walaupun kita menolak proses ini, untuk terus membangun dengan mengisolasikan umat ini dari interaksi dan tatanan ekonomi global. Interaksi dan kerja sama dengan pihak lain dalam urusan keduniaan ini merupakan sesuatu yang perlu dilakukan sebagai ikhtiar meningkatkan taraf hidup. Sikap seperti ini sejalan dengan firman Allah (Al Hujarat: 13) yang menyuratkan bahwa “… Allah menjadikan umat manusia yang terdiri dari berbagai bangsa dan suku untuk saling mengenal”. Ayat ini menegaskan bahwa Islam menganjurkan kerja sama antarumat manusia, melakukan interaksi dan transaksi, namun tanpa menghilangkan keragaman yang ada, termasuk memaksakan ideologi tunggal dalam kehidupan ekonomi. Perbedaan memang sudah merupakan sunatullah sebagai tercermin dari petikan ayat tersebut yang eksplisit menyebutkan eksistensi keberagaman suku dan bangsa. Oleh karena itu, ke dalam proses yang terjadi perlu disikapi dengan terus-menerus mendorong meningkatkan kemampuan ekonomi umat, terus menerus meningkatkan efisiensi, bekerja sama dan bersaing secara jujur dan adil dengan negara lainnya. Proses untuk bekerja maksimal dan efisien ini sejalan dengan tuntutan untuk memanfaatkan semua bumi dan kekayaan yang dianugerahkan oleh Allah kepada umatnya (endowment resources) yang tidak terbatas adanya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.[8]
Berdasarkan itu pula, kita perlu terus mencermati kecenderungan globalisasi ekonomi yang terjadi dewasa ini. Dari praktik globalisasi ekonomi selama ini, tidak bisa dihindarkan bahwa terminologi itu sangat seiring dengan “liberalisasi yang dipaksakan”, sebuah bentuk neoliberalisme. Dalam bentuknya yang demikian, globalisasi menjadi alat bagi negara yang kuat secara ekonomi untuk memaksakan ideologi ekonominya kepada negara-negara lainnya, termasuk negarayang mayoritas penduduknya Islam atau berideologi Islam. Dengan proses globalisasi seperti itu, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga ekonomi dunia yang dirancang mendukung kebijakannya, maka keuntungan terus mengalir ke negara-negara maju. Dalam banyak kasus memang bisa saja dijumpai hubungan ekonomi yang menghasilkan situasi sama-sama untung, “gain-gain situation”. Hanya saja keuntungan terbesar tetap saja dinikmati negara negara industri yang sudah terbiasa dengan praktik persaingan bebas dan pola-pola liberal dalam perekonomiannya sebagai derivasi dari ideologi dan falsafah hidupnya. Globalisasi ekonomi penuh dengan muatan ideologis liberal-kapitalis,[9] dan dalam wajahnya yang sekarang merupakan derivasi dari ideologi tersebut. Globalisasi yang demikianlah yang menurut pandangan saya perlu ditolak. Menjadi sangat naif jika kita berbicara mengenai globalisasi yang sarat dengan muatan ideologis tersebut melepaskannya dari nilai-nilai yang kita anut, yang sebagai umat Islam berpegang pada ajaran-Nya, dan sebagai bangsa kita berpegang pada ideologi bangsa kita, ideologi Pancasila, yang muatannya sejalan dengan norma yang dianut oleh masyarakatnya, yakni norma-norma berdasarkan ajaran Agama Islam tersebut.
Penutup
Demikianlah beberapa pandangan dan bahan pemikiran yang dapat dikemukakan berkaitan dengan masalah globalisasi. Mudah-mudahan uraian ini dapat menjadi bahan diskusi dalam upaya merumuskan tajdid Muhammadiyah dalam bidang ekonomi yang dikaitkan dengan proses globalisasi yang sedang dan terus berlangsung sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud, 1988, Sistem Ekonomi Islam, Zakat, dan Wakaf, UI Press, Jakarta
Azizi, A Qodri, 2004, Melawan Globalisasi – Reinterpretasi ajaran Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Djiwandono, Soedradjad J, “Integrasi Pasar Keuangan dan Globalisasi serta Dampaknya terhadap Kebijakan Moneter di Indonesia” Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum di Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta
Effendi, Sofian, 2005: Revitalisasi Jati Diri Universitas Gadjah Mada Menghadapi Perubahan Global”, Orasi Ilmiah dalam Peringatan Dies Natalis ke-55 UGM, Yogyakarta
Gilpin, Robert, 2002, The Chalange of Global Capitalism: The World Economy in the 21st Century, Princeton University Press, Princeton and Oxford
Hamid, Edy Suandi dan Anto, M.B. Hendrie, 2000, Ekonomi Indonesia Memasuki Milenium III, UII Press, Yogyakarta
Hamid, Edy Suandi (2004), Sistem Ekonomi, Utang Luar Negeri, dan Isyu-isyu Ekonomi Politik Indonesia, UII Press, Yogyakarta
Hamid, Edy Suandi (2004b), ” Globalisasi, Persaingan Bebas, dan Ekonomika Etik”, Makalah Seminar In Memoriam Prof. Ace Partadiredja, UII, Yogyakarta
Kamid, Edy Suandi, 2005, “Globalisasi Ekonomi, Neoliberalisme, dan Perekonomian Indonesia”, Oidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi, UII, Yogyakarta
Hartiningsih, Maria, 2005, “Menyilakan Penjajah Masuk Memasuki Pintu Rumah” dalam Kompas 20 April 2005, Gramedia, Jakarta
Herry-Priyono, 2004, “FSD Menyangga Dunia” dalam Kompas, 20 Januari 2004, Gramedia, Jakarta
Jhamtani, Hira, 2000, Perjalanan Sistem Perdagangan Dunia dari Havana, Marakesh, ke Bangkok, www. Elsppat.or.id
Merrett, David, 2005, Global Management Issues, University of Melbourne, Melbourne
Mubyarto, 2002, “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi”, dalam Jurnal Ekonomi Rakyat (www.ekonomirakyat.org), Th 1 No. 7/2002
Mubyarto, 2005, “Lima Puluh Tahun Konferensi Asia Afrika: Penjajahan Kembali Ekonomi Indonesia” Makalah dalam Seminar Internasional Bandung 2005, UGM, Yogyakarta
Khor, Martin, 2003, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan (Globalization and the South: Some Critical Issues), Cindelaras, Yogyakarta
Perkins, John, 2004, Confession of an Economic Hit Man, Berret-Koehler. San Fransisco
Petras, James dan Henry Veltmeyer, 2001, Globalization Unmasked: Imperialism in the 21st Century, Fenwood Publishing, Halifax
Pieterse, Jan Nederveen, 2001, “Shaping Globalization” dalam Jan Nederveen Pieterse (ed) Global Futures: Shaping Globaliztion, Zed Books, London
Reynolds, Bruce L, 1987, “Chinesse Economic Reform” dalam Journal of Comparative Economics 11, hal. 291-294
Rice, Robert C dan Idris Sulaiman, 2004, “Globalization and the Indonesian Economy: Unrealized Potential” dalam Davies, Gloria dan Nyland, Chrys, Globalization in the Asia Region: Impacts and Consequences, Edward Elgar, Cheltenham, UK
Rodrik, Dani, 1997, Has Globalization Gone Too Far?, Institute for International Economics, Washington DC
Shipman, Alan, 2002, The Globalization Myth, Icon Books LTD, Cambridge
Singer, Peter, 2002, One World, The Ethics of Globalization, Yale University Press, New Haven and London
Stiglitz, Joseph E., 2002, Globalization and Its Discontents, WW Norton Company, NewYork-London
Swasono, Sri-Edi, 2005, Daulat-Rakyat Rakyat desus Daulat-Pasar, PUSTEP UGM, Yogyakarta
Wayne, Elwood, 2001, No-Nonsense Guide to Globalization, NewInternational Publications, Oxford
Wolf, Martin, 2004, Why Globaliztion Works, Yale University Press, New Heaven and Londo
Lampiran 1 : Perdagangan dunia menurut kawasan dan negara
1948, 1953, 1963, 1973, 1983, 1993 dan 2003 miliar dollar dan persentase) |
|||||||||||||||
1948 |
1953 |
1963 |
1973 |
1983 |
1993 |
2003 |
|||||||||
Nilai Ekspor |
|||||||||||||||
World |
58.0 |
84.0 |
157.0 |
579.0 |
1838.0 |
3671.0 |
7294.0 |
||||||||
Persentase Ekspor |
|||||||||||||||
World |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
||||||||
North America |
27.3 |
24.2 |
19.3 |
16.9 |
15.4 |
16.6 |
13.7 |
||||||||
Latin America and the Caribbean |
12.3 |
10.5 |
7.0 |
4.7 |
5.8 |
4.4 |
5.2 |
||||||||
Mexico |
1.0 |
0.7 |
0.6 |
0.4 |
1.4 |
1.4 |
2.3 |
||||||||
Brazil |
2.0 |
1.8 |
0.9 |
1.1 |
1.2 |
1.1 |
1.0 |
||||||||
Argentina |
2.8 |
1.3 |
0.9 |
0.6 |
0.4 |
0.4 |
0.4 |
||||||||
Western Europe |
31.5 |
34.9 |
41.4 |
45.4 |
38.9 |
44.0 |
43.1 |
||||||||
C./E. Europe/Baltic States/CIS a |
6.0 |
8.1 |
11.0 |
9.1 |
9.5 |
2.9 |
5.5 |
||||||||
Africa |
7.3 |
6.5 |
5.7 |
4.8 |
4.5 |
2.5 |
2.4 |
||||||||
South Africa b |
2.0 |
1.7 |
1.5 |
1.0 |
1.0 |
0.7 |
0.5 |
||||||||
Middle East |
2.0 |
2.7 |
3.2 |
4.1 |
6.8 |
3.4 |
4.1 |
||||||||
Asia |
13.6 |
13.1 |
12.4 |
14.9 |
19.1 |
26.1 |
26.1 |
||||||||
Japan |
0.4 |
1.5 |
3.5 |
6.4 |
8.0 |
9.9 |
6.5 |
||||||||
China |
0.9 |
1.2 |
1.3 |
1.0 |
1.2 |
2.5 |
6.0 |
||||||||
India |
2.2 |
1.3 |
1.0 |
0.5 |
0.5 |
0.6 |
0.8 |
||||||||
Australia and New-Zealand |
3.7 |
3.2 |
2.4 |
2.1 |
1.4 |
1.5 |
1.2 |
||||||||
Six East Asian traders |
3.0 |
2.7 |
2.4 |
3.4 |
5.3 |
9.2 |
9.7 |
||||||||
GATT/WTO Members c |
60.4 |
68.7 |
72.8 |
81.8 |
76.5 |
89.5 |
94.3 |
||||||||
Nilai Impor |
|||||||||||||||
World |
66.0 |
84.0 |
163.0 |
589.0 |
1881.0 |
3768.0 |
7569.0 |
||||||||
Pesrentase Impor |
|||||||||||||||
World |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
100.0 |
||||||||
North America |
19.8 |
19.7 |
15.5 |
16.7 |
17.8 |
19.7 |
20.5 |
||||||||
Latin America and the Caribbean |
10.6 |
9.3 |
6.8 |
5.1 |
4.5 |
5.1 |
4.8 |
||||||||
Mexico |
0.8 |
1.0 |
0.8 |
0.6 |
0.7 |
1.8 |
2.4 |
||||||||
Brazil |
1.7 |
1.6 |
0.9 |
1.2 |
0.9 |
0.7 |
0.7 |
||||||||
Argentina |
2.4 |
0.9 |
0.6 |
0.4 |
0.2 |
0.4 |
0.2 |
||||||||
Western Europe |
40.4 |
39.4 |
45.4 |
47.4 |
40.1 |
43.0 |
42.0 |
||||||||
C./E. Europe/Baltic States/CIS a |
5.8 |
7.6 |
10.3 |
8.9 |
8.4 |
2.9 |
5.0 |
||||||||
Africa |
7.6 |
7.0 |
5.5 |
4.0 |
4.6 |
2.6 |
2.2 |
||||||||
South Africa b |
2.2 |
1.5 |
1.1 |
0.9 |
0.8 |
0.5 |
0.5 |
||||||||
Middle East |
1.7 |
2.0 |
2.3 |
2.8 |
6.2 |
3.3 |
2.5 |
||||||||
Asia |
14.2 |
15.1 |
14.2 |
15.1 |
18.5 |
23.3 |
23.0 |
||||||||
China |
1.1 |
1.7 |
0.9 |
0.9 |
1.1 |
2.8 |
5.5 |
||||||||
Japan |
1.0 |
2.9 |
4.1 |
6.5 |
6.7 |
6.4 |
5.1 |
||||||||
India |
3.1 |
1.4 |
1.5 |
0.5 |
0.7 |
0.6 |
0.9 |
||||||||
Australia and New-Zealand |
2.6 |
2.4 |
2.3 |
1.6 |
1.4 |
1.5 |
1.4 |
||||||||
Six East Asian traders |
3.0 |
3.4 |
3.1 |
3.7 |
5.6 |
9.5 |
8.3 |
||||||||
GATT/WTO Members c |
52.9 |
66.0 |
74.2 |
89.1 |
83.9 |
88.7 |
96.1 |
||||||||
Sumber: Website WTO (www.wto.org) |
[1] Makalah disajikan dalam diskusi terbatas IMM Komisariat IBNU SINA UNDIP Tembalang, 7 Ramadhan 1430 H.
[2] Dosen tetap Studi Islam UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG (UNIMUS)
[3] Walaupun ia tidak berhasil menemukan daerah impiannya itu, namun pendaratannya di San Salvador yang dikiranya India menandai suatu yang sangat penting dan memulai masa kolonialisme Eropa dan terjadinya integrasi ekonomi antarnegara
[4] UGM bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia yang beranggotakan 2300 perguruan tinggi da lembaga swadaya masyarakat telah menginisiasi kerja sama antar universitas (nasional dan internasional) untuk mendesak Pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan kembali rencana WTO untuk memasukkan “pengetahuan” sebagai satu kategori “komoditi” ke dalam GATS yang akan ditandatangani Mei 2005 ini. Langkah ini akan diperluas melalui konsorsium universitas-universitas di Amerika Serikat, Kanada, Uni Eroa, India, dan Jaringan Universitas ASEAN (Sofian Effendi, 2005: 27-28).
[5] Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa: 119: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. Hadist yang diriwaytkan oleh Ibnu Hibban menyatakan : ”Sesungguhnya jual beli itu harus berdasar kerelaan antara kedua pihak”.
[6] Sejak akhir tahun 1990-an gelombang aksi menentang globalisasi dengan berbagai bentuknya muncul di forum-forum dunia. Momen-momen pertemuan besar yang didakan WTO (World Trade Organization), WEF (World Economic Forum) atau Forum Ekonomi Dunia (FED), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), yang terkait dengan implementasi globalisasi selalu dibarengi dengan aksi-aksi penolakan yang tidak jarang menimbulkan korban.
[7] Sikap negara-negara Arab yang mendukung “calon dari negara berkembang” dalam pemilihan Sekjen WTO baru-baru ini menggambarkan perlawanan dan keidakpuasan terhadap pola globalisasi ekonomi yang berjalan. Walaupun calon negara berkembang harus menyerah terhadap calon dari Prancis yang banyak didukung negara maju, namun langkah seperti ini layak ditiru Indonesia sebagai sikap untuk meluruskan jalannya globalisasi ekonomi yang sedang berjalan.
[8] Firman Allah dalam surat An-Nur: 38 menyatakan: “…. Dan Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendakinya tanpa batas”. Dalam Surat Luqman: 20 dikemukakan: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan segala yang ada d langit dan bumi dan menyediakan untukmu karunia yang cukup lahir dan batin…”. Sedang dalam surat Al-Israa: 17 ddingatkan untuk memanfaatkan kekayaan yang ada sebaik mungkin:”… jika Kami hendak menghancurkan suatu negeri, Kami perbanyak orang mutraf, yakni orang yang boros, bekerja tidak efisien, mencari kemewahan, dan berfoya-foya dalam kemaksiatan… kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”.
[9] Petinggi militer Indonesia biasanya sangat hati-hati dan cermat membuat pernyataan yang terkait dengan isu-siyu besar, terlebih terkait dengan hubungan internasonal. Ketika menjadi Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu di forum yang diadakan ole ITB tahun lalu menyatakan praltik “globalisasi yang sedang berjalan merupakan bentuk dari kolonialisme baru”